Jumat, 11 November 2011

HUBUNGAN DESA DAN KOTA

HUBUNGAN DESA DAN KOTA
      Hubungan desa-kota itu nyata. Ada banyak keluhan, misanya tentang ekploitasi kota atas desa. Namun, hubungan ini terjadi karena desa juga memerlukan kota. Produksi (pertanian) memerlukan konsumsi, selain sebaliknya. Di beberapa negara, pertanian mendapatkan perlindungan berupa subsidi langsung dan/atau pembatasan impor atau/dan ekspor. Nilai barang produksi primer, karena menyangkut dasar hajat hidup orang banyak, menjadi sangat politis. Nilai sering ditentukan dengan berbagai intervensi, terkadang merugikan atau menguntungkan penduduk desa yang berprofesi sebagai petani. Nilai tukar produk pertanian sering dianggap terlalu rendah, tidak memiliki daya tawar yang tinggi, atau setidaknya sebanding dengan produk barang sekunder dan jasa dari kota. Jadi, bagaimana menetapkan mekanisme yang adil? Bagaimana mengukur ketimpangan ini? Migrasi umumnya dianggap terjadi satu arah—dari desa ke kota—dan tidak pernah sebaliknya, kecuali migrasi musiman, misalnya ketika penduduk desa ke kota hanya untuk mencari pekerjaan sementara menunggu panen, dan kemudian kembali ke desa di musim panen dan tanam. Arus migrasi orang ini membawa arus moneter dari kota ke desa. Ada setingkat re-investasi ke desa. Ada banyak pula keluhan tentang menyusutnya penduduk pedesaan dalam arti yang bekerja di sektor pertanian. Namun, ada pula kasus-kasus kembalinya orang ke desa sebagai pilihan sadar untuk bekerja kembali di sektor pertanian.
      Dalam anggapan ekonomi konvensional, desa berputar di sekitar sektor primer pertanian, sedangkan kota-kota mengkonsumsi hasilnya dan berputar pada poros ekonomi sekunder dan tersier, pengolahan dan jasa. Namun, tidak berarti desa tidak melakukan pengolahan. Pengolahan produk pertanian itu sendiri menjadi industri yang makin lazim. Produk pertanian yang keluar dari desa tidak lagi hanya berupa bahan mentah, tetapi telah diproses menjadi berbagai turunan dengan energi entropi yang makin tinggi. Selain itu, desa juga memproduksi barang-barang sekunder, antara lain yang bernilai tinggi, seperti barang kerajinan tenun (kain), anyaman, ukiran, berbagai bentuk kesenian, dan lain sebagainya. Sementara itu, tidak berarti di kota tidak ada kegiatan primer, baik pertanian maupun pertambangan. Beberapa kota berawal dari pertambangan. Pertanian di dalam wilayah kota pun sudah biasa, meskipun benar mungkin makin berkurang, yakni di kota-kota Asia.
      Desa dan kota bukanah kategori hitam-putih, setidaknya bila dilihat dari sudut pandang ekonomi.
Singgih Kartono, pendiri Magno-Piranti Works membawa sektor sekunder (produksi radio) dan tersier (jasa perancangan/design) ke dalam desa. Para penganjur ekonomi ekologis menganjurkan dengan sesadar-sadarnya sektor primer (pertanian) ke dalam kota; urban organic agriculture.  Desa ke dalam kota dan kota ke dalam desa makin menjadi lazim. Hubungannya bukan lagi seperti dua entitas yang berhadapan, melainkan saling mengada benar-benar di dalam yang lainnya.
      Transisi ke abad ekologis memang melihat hubungan itu perlu dibangun kembali. Tujuannya cukup jelas, yaitu mengurangi jarak ruang produksi dan konsumsi, sehingga mengurangi pengangkutan dan jejak karbon. Dalam wacana perencanaan, kata kota-wilayah (city-region) makin sering disandingkan sebagai satu kata. Persoalannya bukan lagi masalah keadilan nilai tukar, eksploitasi, dan hal-hal lain yang berat sebelah, melainkan telah menjadi keperluan untuk lestari bersama atau musnah bersama. Kesadaran ilmiah ekologis juga memastikan bagaimana hubungan hulu dan hilir itu berkesinambungan erat. Kota dan desa berada dalam suatu kesinambungan ekosistem, baik mikro maupun makro. Air itu satu. Udara itu satu. Bumi itu satu. Desa-kota bukan saja berada dan terbentuk dalam suatu kontinuum de facto, tetapi perlu dirajut lebih makin erat dalam suatu hubungan yang saling melestarikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar